ISLAM KOTA, ISLAMISME, DAN KAFIR
Oleh FAIZ MANSHUR
-Kolomnis. Pemimpin Redaksi Penerbit Nuansa Cendekia-
Kalau ingat-ingat masa lalu, ambil saja rentang era 1980 hingga 1990-an, pesona Islam di ruang publik Indonesia tak sekuat dan tak seseramseperti sekarang ini. Di masa itu, suasana perkotaan nampak “sekular” sementara di desa-desa pesona agama tampak teduh tanpa banyak kegaduhan isu-isu keagamaan.
Dimulai dari era reformasi 1998 yg menampilkan wajah Islam-politik simbolis dgn isu penegakan syariat Islam -yang sebagian telah memudar, sekarang bergeser ide tentang Khilafah Islamiyah dari kelompok Hizbuttahrir dan Daulah Islamiyah di Syiria dan Irak—yang keduanya mendapatkan resistensi arus utama Islam Indonesia. Di luar isu politik, nampak wajah Islam budaya, lebih tepatnya budaya pop dgn isu hijab/jilbab.
Realitas itu merupakan dinamika zaman, tetapi dinamika tak selalu produktif untk dinilai dari paradigma peradaban Islam. Upaya penegakan syariat Islam sudah terbukti hanya perdagangan isu untk kepentingan politik kekuasaan semata, bukan kepentingan esensial dari misi Islam.
Lorong Gelap Islamisme
Jika ditelisik lebih mendalam tentang Islam-politik tersebut, kita perlu menengok basis-basis gerakan pengusung ideologi Islamisme ini. Islamisme adlh paham serba Islam yg punya keyakinan Islam (dipersempit) menjadi ideologi politik, ditegakkan oleh organisasi Islam, dan impian idealnya mendirikan negara Islam.
Oleh kalangan cendekiawan dan ulama-ulama yg rasional keyakinan seperti itu bukanlah prinsip baku dlm Islam karena Nabi Muhammad Saw., tak mengharuskan formalitas dlm sistem politik, melainkan mengutamakan terwujudnya Etik-Islam (Akhlakul Karimah) dgn model empirik berupa masyarakat madani yg secara umum saripatinya bisa mendasarkan pd lima tujuan universal, yakni, Hifdz al-‘aql, menjamin kreativitas berpikir dan kebebasan berekspresi serta mengeluarkan pendapat, Hifdz al-dien, menjamin kebebasan beragama, Hifdz al-nafs, memelihara kelangsungan hidup, Hifdz al-mal, menjamin pemilikan harta dan properti, dan Hifdz al-nasl wal-‘irdl, menjamin kelangsungan keturunan, kehormatan, dan profesi.
Gerakan politik Islamisme tak memiliki komitmen untk untuk itu, melainkan lebih menekankan tercapainya kemenangan Islam (baca kemenangan golongan) terhadap pihak lain yg dianggap musuh. Celakanya musuh itu adlh tiap kelompok yg berbeda pandangan dgn kelompoknya sendiri.
Efek ideologisasi Islam dgn gerakan bermerek “dakwah” dan “tarbiyah” tersebut memang melahirkan generasi Islam ideologis, tetapi ideologi dlm pengertian negatif karena faktanya banyak menimbulkan egoisme individual. Itulah kenapa sering terjadi fenomenabullyingdalam perdebatan tanpa mengenal etika keilmuan lagi. Sedikit berbeda pandangan secepat itu tuduhan-tuduhan muncul menyertainya. Jika berpikir rasional sedikit dianggap liberal, jika rasional sedikit dianggap kafir.
Kota-kota besar dan metropolitan menampakkan wajah “Islamisasi” (tentu dlm artian simbolik), sementara di daerah-daerah --sekalipun terseok-seok dlm modernisasi-- justru mengalami sekularisasi. Islam di perkotaan yg muncul di media massa, termasuk media sosial yg seharusnya menjadi teladan lahirnya Civic dan Civil Islam, justru menampakkan wajah Islam yg tak substansial; sarat simbol-simbol Arab, sloganistis, dan pd saat-saat situasi politik tertentu menampilkan ekspresi politik yg menyeramkan.
Islam menjadi tren, tetapi tren itu justru sering diambil orang-orang narsisus untk menengak keuntungan sebagai sarana eksistensi diri. Misalnya, banyak muncul ustad dan ustadah instan yg pemahaman agamanya kurang mumpuni, tetapi hasrat dakwahnya begitu tinggi, melontarkan statemen-stemenen yg klise dan tak jarangngawur. Jika muncul kritik, yg terjadi bukan perdebatan keilmiahan, melainkan saling serang dgn melibatkan pendukung-pendukungnya.
Menelisik lebih mendalam, ternyata sebagian generasi muslim di perkotaan yg terislamisasi itu --lari ke agama melewati jalur gerakan politik Islamisme-- berasal dari desa-desa, mayoritas lahir dari keluarga agraris/petani. Mereka bermigrasi untk belajar / bekerja, tetapi silau oleh gemerlapnya kehidupan kota, lalu mencari jalan lain di “lorong-lorong keagamaan” untk menghindari gemerlapnya keduniawian.
Sayangnya ruang-ruang gerakan Islam tak menyediakan cahaya yg baik. Atas nama aqidah didakwahkan untk taat organisasi, taat imamah, menyempitkan pergaulan, membatasi literatur di luar petunjuk seniornya, bahkan urusan perkawinan pun di arahkan untk memilih dari golongan mereka.
Mencari terobosan
Jalan pembaruan gerakan Islam mesti digemakan. Perlu kiranya agar pola-pola pengkaderan yg dogmatis itu kembali dibuka dgn cara pengembangan pemikiran yg lebih terbuka dan ilmiah serta kemauan untk mendengarkan pemahaman Islam dari kelompok lain.
Di Salman ITB misalnya, sekarang ada upaya untk itu. Laporan Harian Umum Pikiran Rakyat (Senin 5 Januari 2015) merupakan upaya “Islami” yg patut ditiru kampus lain. Ada kursus sinema, ada diskusi dgn tema nasionalisme, ada upaya mengurangi kegiatan politik yg kelewat memperhatikan isu internasional tanpa peduli lingkungan sekitar.
Nilai-nilai gerakan Islam yg positif seperti di Salman ITB itu, yg mengembangkan gerakan inklusif dan transformatif tersebut memiliki nilai-nilai gerakan kenabian karena sangat memperdulikan lingkungan sekitar secara sektoral. Itulah gerakan profetik, itulah gerakan intelektual organik yg bisa menjadi modal terbentuknya masyarakat civic-virtue / (dalam konteks keislaman) bisa disebut civic-Islam.
Generasi Islam kota mestinya semakin memahami secara komprehensif arus kehidupan nasional dan berpikir lebih kreatif dgn kreasi-kreasi keilmuan di masing-masing bidang yg digeluti dan kemudian berupaya membumikan semangat kenabian dlm konteks sektoral tempat kita berdomisili. Mengambil jalan dakwah politis dgn sebatas menduplikasi / mengkopi-paste paham/ideologi sekadar untk mengajak orang “berislam” adlh bukti kekolotan berpikir.
Ada ilustrasi sejarah menarik. Di Arab dulu, ada istilah kafir (kuffar) yg secara harafiah berarti petani. Pada esensi literalnya, kuffar adlh kebiasaan petani memasukkan (menanam) benih ke tanah lalu menutupnya. Tetapi jg sering dimaknai secara simbolis sebagai keadaan (sosiologi) di mana petani-petani di pedalaman Arab (badui pedalaman) itu punya tradisi berpikir tertutup, kolot; sulit diajak terbuka dlm pergaulan, sulit menerima pengetahuan baru dan pola pikirnya selalu resisten terhadap kemajuan.
Ada pula kafr yg artinya gelapnya malam. Itulah sebabnya kata kafir itu lebih tepat untk orang-orang yg terkunci akalbudinya, terjebak pd lorong gelap dogmatism kepercayaan lama-- dan sungguh bukanlah orang-orang yg memiliki paham berbeda dgn golongan tertentu.[]
- SUMBER: Katakini.com
source : http://wikipedia.org, http://tribunnews.com, http://civicislam.blogspot.com
0 Response to "Esai Tentang Hubungan Perkotaan, Islam Radikal dan Takfiri"
Post a Comment