baca98.blogspot.com - Ayunan bayi itu sudah tua. Benda itu berbentuk lempengan besi dgn pengait di sisi kiri kanannya untk menggantungkan kain sarung. Lempengan itu lantas digantungkan pd sebuah per panjang dan diikatkan pd sebatang cabang pohon yg tumbuh melintang. Ayunan tua yg dulunya tergantung di pintu kamar itu sangat berjasa karena selama bertahun-tahun telah berhasil membuai tiga orang bayi agar tertidur lelap sehingga sang Ibu bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya. Ketiga bayi tersebut saat itu telah berusia delapan, enam dan empat tahun, dan hampir tiap hari heboh memperebutkan giliran untk menaiki ayunan yg kini tergantung di pohon jambu di depan rumah. Mereka tak peduli dgn per di ayunan yg mulai kendor dan melar saat tubuh-tubuh mungil itu bertumpukan di dalamnya.
Nah, bocah-bocah tersebut adlh saya, Wulan, kakak saya dan adik saya, Wiwin. Kala itu kami masih tinggal di daerah bernama Batu Dua, di Tanjung Pinang. Kami menempati sebuah rumah pinjaman untk tentara TNI Angkatan Udara karena Bapak adlh seorang tentara dan sering harus berjaga malam di pos AU. Rumah kami yg mungil itu bertengger di atas bukit, tak jauh dari kantor Bapak - markas TNI Angkatan Udara - yg terletak di bawah dan hanya dipisahkan dgn tangga batu sehingga tiap jam makan siang Bapak pulang untk makan di rumah.
Setiap kali saya dan Wulan pulang dari sekolah, maka kegiatan utama kami adlh bermain ayunan tua di depan rumah, seperti hari itu. "Gantian dong, masa Wulan terus sih"! Teriak saya, sambil mendorong Wulan keras-keras dari ayunan. Walau berusia lebih muda tapi saya tak pernah bersedia mengalah. "Nggak mau, aku kan baru sebentar"! Tukas Wulan kesal tapi tak mampu menggerakkan ayunan karena empat tangan mungil lainnya telah mencekal kain sarung ayunan dan menahannya dgn kuat. "Kok gitu sih! Ini nggak adil, kamu tadi naik lama sekali"! Protes kakak saya, tapi karena ayunan tak mampu digerakkan akhirnya dia pun menyerah dan turun. Kesempatan ni tentu saja tak dilewatkan oleh Wiwin, si adik bungsu. Sadar dgn tubuhnya yg kecil dan ringkih maka dia pun mengambil strategi dgn menggantungkan separuh badannya ke ayunan sehingga kakak-kakaknya tak ada yg bisa menaiki benda malang itu. "Keluar dari ayunan, Wiwin terakhir saja naiknya"! Bentakan itu disambut dgn tangisan keras Wiwin yg memang terkenal gampang menangis dan sulit berhenti kalau sudah menangis.
"Ah nangis dia! Kalau Mama sampai dengar bisa-bisa kita dimarahi. Eh biar dia naik dulu saja ya, kalau kita ayun kuat-kuat ntar jg takut dan minta turun, " bisik saya jahat. Kakak saya menggangguk antusias tanda setuju. Wiwin sambil tersenyum gembira naik ke atas ayunan, dan kedua orang kakaknya lantas bersama-sama mengayunkan benda itu. Pertama-tama dgn gerakan perlahan, dan ketika si adik kecil terlihat nyaman dan tertawa-tawa, gerakan ayunan pun mulai dipercepat dan semakin cepat. "Jangan kuat-kuat! Aku takut"! Jeritnya. Tapi kedua kakak bandelnya tetap mengayunkannya dgn kencang dan betapa terperanjatnya mereka tatkala ayunan beserta isinya terlepas dari kaitan dan terbang sekitar dua meter dari tempat mereka berdiri. Tedengar suara gedebuk yg keras ketika Wiwin mendarat di tanah dan tangisnya pun pecah sekencang-kencangnya.
Kami pun lari tergopoh-gopoh menghampiri, dan serempak berteriak ngeri kala melihat darah segar mengalir dari dagu Wiwin. "Mati dah Ndang! Bisa ngamuk Bapak ntar nih, " tukas Wulan dgn suara gemetaran. "Kamu sih tadi pakai diayun kuat-kuat segala, " katanya sambil melotot ke saya yg berjongkok membujuk Wiwin. "Eh kok nyalahin sih, kau tadi jg setuju kan. Kalau nggak begitu, mana mau dia turun dari ayunan? Lagian, mana aku tahu ayunannya bakalan copot"! Balas saya tak mau disalahkan. "Darahnya banyak sekali, kita kasih apa nih supaya berhenti"? Kami pun mulai panik dan berusaha menahan aliran darah dgn menggunakan kain sarung ayunan, tapi darah tak kunjung berhenti juga. "Katanya kalau pakai kopi bisa berhenti. Ambil kopi Bapak di dapur, tapi jangan sampai Mama tahu ya"! Saya langsung ngibrit ke dapur begitu mendengar instruksi Wulan.
Bubuk kopi memang luar biasa manjur menghentikan darah yg mengucur dari luka, ketika banyak-banyak ditempelkan maka darah seketika berhenti membuat saya dan Wulan menghela nafas puas. Tapi menghentikan tangisan Wiwin bukan pekerjaan yg mudah, bocah itu seakan memiliki persediaan air mata bergentong-gentong banyaknya dan selagi kami sibuk membujuk si adik bungsu agar diam Ibu pun keluar dari dlm rumah. "Kenapa adik kalian menangis? Ya Tuhan! Kalian apakan si Wiwin"?! Teriakan Ibu membuat kami saling berpandangan dan mulai menuding dan menyalahkan satu sama lain. "Awas ya, kalau sampai Bapak tahu bisa marah besar nanti. Mana lukanya panjang sekali, harus dibawa ke rumah sakit"! Dan seakan-akan memiliki indra keenam dan tahu sedang diperbincangkan, Bapak tiba-tiba muncul dari tangga batu di ujung jalan dan langsung saja tatapannya melihat kami yg sedang merubungi Wiwin.
Cerita selanjutnya sudah bisa ditebak dan semua itu berjalan dlm tempo yg sangat cepat sehingga saya sendiri sedikit lupa dgn kata-kata amarah yg diledakkan Bapak. Tapi yg jelas beliau mengamuk cukup hebat dan sekejap kemudian bersama Ibu lantas membawa Wiwin ke rumah sakit Angkatan Udara yg berada di sebelah kantornya. Satu jam kemudian mereka pun telah kembali dan kami pun harus menerima kembali amarah sesi kedua, kali ni tentunya datang bersama dgn hukuman.
"Lain kali kalau ada kejadian seperti ni lagi kalian harus cepat bilang Mama / Bapak! Jangan diam-diam saja dan jangan main dokter-dokteran sendiri. Kopi yg ditempelkan itu membuat luka adik kalian susah dibersihkan, padahal lukanya harus segera dijahit'! Kami berdua hanya tertunduk beku sambil sesekali mencuri pandang ke Bapak yg sedang memelototkan mata dan mengomel panjang lebar. "Sebagai hukumannya dan supaya kejadian ni tak terulang lagi, Bapak akan buang ayunannya"! Untuk membuktikan kata-katanya, Bapak lantas mengambil ayunan yg masih tergeletak di bawah pohon dan membuangnya ke tengah jalan berdebu di depan rumah. Kami sebenarnya cukup shock melihatnya tapi hanya bisa menatap pasrah, tak berdaya untk melancarkan aksi protes.
Saat semua keributan itu telah usai, dan kami pun telah masuk ke dlm rumah. Saya dan Wulan berdiri dari balik jendela mengawasi ayunan yg masih tergeletak di tengah jalan. "Kita ambil dan simpan saja, kan Bapak nggak tahu, " usul saya menatap penuh sesal ke mainan yg menjadi kegemaran kami itu "Jangan ah, nanti kalau Bapak tahu lebih parah lagi kita dimarahinnya, " kata kakak saya terdengar takut walau saya tahu sebenarnya dlm hatinya dia ingin menyelamatkan ayunan itu.
"Sudah kalian berdua lupakan saja. Ayo kesini bantuin Mama saja, " tegur Ibu dari jauh. Kami tetap membandel, tak beranjak dari jendela, masih menatap nanar ke jalanan. Betapa cemasnya kami tatkala melihat seorang laki-laki berjalan mendekat dan membungkukkan badan ke arah ayunan. "Ma lihat, ayunannya diambil orang"! Teriak saya panik. Ibu pun langsung berjalan mendekat dan terbengong kala melihat lelaki itu memungut ayunan anak-anaknya dan membawanya pergi. "Ma, bilang sama Bapak itu, jangan ambil ayunan kita"! Teriak Wulan dgn muka horor sementara saya hanya meloncat-loncat di tempat, bingung harus berbuat apa. Ibu tetap diam mematung menatap jalanan hingga bayangan laki-laki itu tak tampak lagi dan kemudian beliau berkata, "Sudah lupakan saja ayunan itu, mungkin lebih bermanfaat bagi orang lain." Kami pun mengerang bersama-sama, "Yahh'!
Cerita lama di atas teringat kembali kala weekend kemarin (seperti minggu-minggu yg lalu) saya menghabiskan waktu di rumah Wiwin, di Mampang. Ibu sedang berada di sana selama beberapa minggu. Kebetulan Wiwin jg baru saja kembali dari umroh, jadi kedatangan saya kali ni bukannya tanpa maksud. Kali ni saya berharap buah tangan dari tanah suci berupa aneka kacang-kacangan dan buah kering yg sudah saya pesan sebelumnya.
Nah seperti biasa jika Ibu dan anak berkumpul maka kami pun mulai bernostalgia tentang masa lalu. Banyak cerita sedih disana tapi ketika dikisahkan kembali membuat kami terbahak-bahak. Cerita kami jg biasanya tak jauh dari mengenang sifat alm. Bapak yg terkenal keras tapi sangat konsisten mendidik putra-putrinya. "Jadi sebenarnya gimana perasaan Mama waktu ayunannya diambil?" Tanya Wiwin cengar-cengir jahil dgn nada ingin tahu. "Ya Mama sebenarnya 'nyesek' juga, kok ayunannya diambil orang padahal tadinya mau Mama umpetin dulu kalau Bapak-mu nggak tahu". Kami pun ngakak semua mendengar penjelasan itu. "Habis mau melarang orang itu ntar Bapak-mu bisa ngamuk. Kalian tahu sendiri sifat alm. Bapak. Jadi walau sebenarnya sayang, ya terpaksa diem saja supaya aman."
Wokeh, saya akhiri tentang cerita ayunan yg telah raib di atas dan lembali ke postingan yg kali ni saya tampilkan. Setelah beberapa hari vakum dari blogging karena terserang batuk super parah, kali ni saya kembali dgn resep pie yg mungkin tak asing lagi anda temui di JTT. Terus terang saya akui, saya penyuka pie, apalagi pie yang super simple seperti ini. Selain itu saya jg suka segala sesuatu yg mengandung kata rustic di dalamnya, seperti misalnya rustic furniture, rustic kitchen tools, rustic house, rustic garden hingga rustic pie seperti yg saya hadirkan kali ini. Sebenarnya apa arti dari kata rustic tersebut? Menurut kamus Oxford, kata rustic mengacu pd segala sesuatu yg memiliki kesederhanaan dan pesona yg dianggap khas pedesaan. Atau segala sesuatu yg hadir dlm bentuk yg polos dan sederhana. Memang bagi saya, segala sesuatu yg sederhana dan tampil apa adanya tanpa polesan berlebihan terkadang memberikan pesona dan kecantikannya tersendiri yg membuat mata ni tak jemu untk memandang.
Dalam hal perabotan rumah tangga, terus terang saya senang dgn perabotan kayu polos tanpa cat / pelitur. Saya jg suka memilih perlengkapan dapur yg tak terlalu banyak lekuk / motif. Saya jg tergila-gila dgn kebun yg tak terlalu teratur dimana beberapa tanaman dibiarkan tumbur meliar dan berbaur menjadi satu menciptakan siluet alami dan kesan seakan mereka tumbuh sendiri di alam terbuka / belantara. Dan untk kue, saya jg suka membuat kue / cake dgn bentuk yg simple, tampil sederhana dan apa adanya seperti halnya pada drop cookies, atau mango rustic pie seperti kali ini. Bagi saya, tampilan rustic memberikan kesan hangat, homy, dan welcome.
Nah pie mangga ni sangat mudah di buat, lebih asyiknya lagi isiannya sangat fleksibel tergantung dgn selera anda / ketersediaan bahan di dapur. Cincangan strawberry, / coklat, peach kalengan, potongan nanas, tumisan daging cincang, parutan keju / adonan brownies seperti di Fudgy Chocolate Pie yg pernah saya posting serta ribuan ide liar lainnya yg terlintas dlm benak bisa anda terapkan. Tidak punya cetakan pie? Tidak masalah! Pie ni rustic, dalam arti dia tampil sederhana dan tak membutuhkan banyak alat untk membuatnya menjadi spektakuler. Cukup gilas adonan hingga menjadi lempengan bulat, berikan isi di bagian tengahnya dan tekuk sisa-sisa adoan di tepiannya. Pie pun siap diolesi dgn susu cair dan panggang hingga matang. Mudah! ^_^
Berikut resep dan prosesnya ya.
Fudgy Chocolate Pie
Rustic Mango PieResep pie crust diadaptasikan dari Joy of Baking - Peach PieResep filling mangga hasil modifikasi sendiri
Untuk 8 buah pie diameter 8 cm
Tertarik dgn resep pie lainnya? Silahkan klik link di bawah ini:
Shepherd's Pie a la Gordon Ramsay
Mini Strawberry Pies: Tiga buah pie saya masih kurang. Kalau anda?
Resep Pembaca JTT : Pie Susu a la Veggy
Bahan pie crust:
- 350 gram tepung terigu serba guna, / protein rendah
- 1/2 sendok teh garam
- 2 sendok makan gula bubuk
- 225 gram mentega/margarine, masukkan ke chiller kulkas hingga dingin dan keras, potong-potong ukuran 2 x 2 cm
- 50 - 80 ml air es, tak selalu air es dipergunakan semua
Bahan isi, aduk jadi satu:
- 1 buah mangga berat 200 gram, potong dadu - 2 sendok teh gula pasir - 1/2 buah jeruk nipis peras air - parutan kulit jeruk nipis
Cara membuat:
Siapkan mangkuk ukuran besar, masukkan tepung terigu, garam, gula bubuk, aduk rata dgn spatula. Kemudian masukkan mentega/margarine dingin, aduk / tutupi permukaan mentega/margarine dgn tepung.
Dengan menggunakan pisau pastry, cacah-cacah mentega/margarine bersama dgn tepung terigu hingga mentega dan tepung membentuk butiran-butiran kasar. Biarkan mentega/margarine dgn butiran sebesar kacang tanah. Jangan berlebihan dlm memproses adonan hingga mentega/margarine menjadi hancur tak berbentuk. Berlebihan dlm memproses adonan jg akan membuat mentega/margarine menjadi lumer, adonan menggumpal dan gluten terbentuk. Kondisi ni akan membuat adonan menjadi keras dan bantat.
Note: selain dgn pisau pastry, anda bisa memproses adonan dgn menggunakan garpu, / dua buah pisau dapur. Hindari memproses adonan dgn jemari tangan, suhu tangan yg hangat akan membuat mentega/margarine menjadi lumer.
Adonan yg terbentuk memiliki tekstur kering, tercerai berai dgn butiran-butiran mentega/margarine yg diselimuti oleh tepung terigu. Nah jika kondisi ni telah tercapai segera hentikan memproses adonan, jika masih ada mentega/margarine berukuran besar, biarkan. Butiran-butiran ni akan lumer ketika pie dipanggang menyisakan ruang kosong di dlm kulit pie dan membuat pie menjadi renyah.
Masukkan air es sedikit demi sedikit dgn sendok, sambil kepalkan adonan dgn tangan untk membuatnya menyatu menjadi gumpalan besar. Jangan menguleni adonan, tetapi tekan adonan dan gumpalkan seperti membuat bola yg besar. Jika adonan masih terasa kering, sulit digumpalkan maka tambahkan porsi air es. Adonan yg terbentuk cukup lembab, tak kering, mudah digumpalkan tapi tak lengket di tangan. Terlalu banyak air akan membuat adonan menjadi basah dan terbentuk gluten.
Tes kecukupan air dgn mengambil segumpal kecil adonan, pencet adonan dgn jemari tangan. Adonan yg baik akan menyatu tapi tak lengket di jari.
Letakkan selembar plastik wrap di meja dapur, bagi adonan menjadi dua bagian. Tuangkan satu bagian adonan di permukaan plastik kemudian gumpalkan.
Bentuk adonan menjadi sebuah piringan dgn diameter 15 cm dan tebal sekitar 2 cm. Bungkus dgn plastik wrap. Lakukan pd bagian adonan lainnya. Simpan adonan di chiller kulkas selama 30 menit, agar adonan menjadi rileks dan mentega/margarine mengeras.
Siapkan oven, panaskan di suhu 170'C, letakkan rak pemanggang di tengah oven.
Keluarkan adonan dari chiller, letakkan di permukaan meja. Buka bungkus plastiknya. Kemudian letakkan selembar plastik wrap di permukaan adonan. Gilas perlahan dgn kayu penggilas hingga tipis, ketebalan sekitar 3 millimeter.
Potong adonan menjadi bulatan dgn diameter sekitar 12 - 15 cm, letakkan di bagian tengahnya 1 sendok makan bahan isi. Kemudian tekuk bagian tepiannya ke arah tengah hingga bahan isi tertutup. Sisakan lubang terbuka di tengah pie.
Atau anda bisa jg mengambil segumpal adonan sebesar bola ping-pong, gilas tipis dan membulat lebar, kemudian isi dgn bahan isiannya dan tekuk.
Olesi permukaan pie dgn susu cair dgn menggunakan kuas, panggang selama 20 menit / hingga permukaan pie menjadi coklat kuning keemasan. Keluarkan dari oven, dan biarkan sejenak agar mengeras baru pindahkan pie ke rak kawat agar dingin sempurna.
Pie siap disantap. Super yummy!
other source : http://justtryandtaste.com, http://viva.co.id, http://imgur.com
0 Response to "Rustic Mango Pie dan Cerita Tentang Ayunan"
Post a Comment