
baca98.blogspot.com - 1. Pemimpin Memikul Tanggung Jawab (اللؤلؤ والمرجان:١١٩٩) Hadits:
١١٩٩~ عَبْدِ اللهِ بْنُ عُمَرُ , أَنَّ رَسُلُ اللهِ , قَالَ:كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ, فَالأَمِيْرُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ, وَالرَّجُلُ راعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ, وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ, وَالْمَرْأَةُ رَاعِيْةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَ وَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ, وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ , أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَ كُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ (أخرجه البخري في : ٤٩ كتاب العتق:١٧ باب كراهية التطاول على الرقيق)
Terjemah: 1199 ~ Abdullah bin Umar , dia berkata: Rasulullah bersabda Kalian semua adlh pemimpin dan bertanggung jawab terhadap rakyat yg dipimpinnya. Seorang raja memimpin rakyatnya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya itu. Seorang suami memimpin keluarganya, dan akan ditanya kepemimpinannya itu. Seorang ibu memimpin rumah suaminya dan anak-anaknya, dan dia akan ditanya tentang kepemimpinannya itu. Seorang budak mengelola harta majikannya dan akan ditanya tentang pengelolaanya. Ingatlah bahwa kalian semua memimpin dan akan ditanya pertanggung jawabannya atas kepemimpinannya itu. [Al-Bukhari meletakkan hadits ni di kitab 49; Budak. Bab 17; dibencinya perbuatan menyiksa budak.]
Penjelasan: Hadits Ibnu Umar, كُلُّكُمْ رَاعٍ (Kamu semua adlh pemimpin). Akan dijelaskan secara detail pd awal pembahasan tentang hukum. Adapun maksud pencantumannya di tempat ini[1] terdapat pd kalimat وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ (Seorang budak mengelola harta majikannya) karena jika seorang budak telah menasehati majikannya dan menunaikan amanat dan menunaikan amanat yg dibebankan kepadanya, maka bagi majikannya patut untk membantunya dan tak melampaui batas dlm memperlakukannya.
Dalam kitab hukum, kata arra’i artinya orang yg memelihara dan diberi amanah atas kemaslahatan apa yg diamanatkan. Dia dituntut berbuat adil dan melakukan apa yg menjadi maslahat hal tersebut.
فَالأَمِيْرُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ (Seorang raja memimpin rakyatnya) maksudnya adlh pemimpin tertinggi.
Al Khathabi berkata, Mereka bersekutu --- yakni pemimpin dan seorang laki-laki serta semua yg disebutkan dlm hadits --- dlm sifat pemimpin tapi dgn makna berbeda-beda. Kepemimpinan penguasa tertinggi adlh menjaga syariat dgn menegakkan hukum serta berlaku adil dlm menetapkan hukum. Kepemimpinan seorang laki-laki terhadap keluarganya adlh cara mengurusi mereka dan memberikan hak-hak mereka. Kepemimpinan seorang perempuan adlh mengatur urusan rumah, anak-anak, pembantu, dan memberi nasehat serta masukan kepada suami tentang semua itu. Sedangkan kepemimpinan pembantu adlh memelihara apa yg ada dlm tanggung jawabnya serta melakukan apa-apa yg dpt mendatangkan kebaikan padanya.
Ath-Thaibi berkata, Dalam hadits ni disebutkan bahwa pemimpin (penjaga) tak dituntut karena dzatnya. Bahkan ia diadakan untk memelihara apa yg diamanahkan kepadanya oleh si pemilik. Oleh karena itu, dia patut tak menggunakannya kecuali jika diizinkan oleh pembawa syariat.
Ulama lain berkata, Masuk pula dlm cakupan umum ni orang yg hidup sendirian tanpa istri (atau suami), pembantu, dan tak pula anak, karena dia tetap menjadi pemimpin atas anggota badannya agar melakukan hal-hal diperintahkan dan menjauhi hal-hal yg dilarang, baik berupa perbuatan, perkataan, maupun keyakinan. Anggota badan, kekuatan, dan indranya adlh hal-hal yg dipimpinnya. Kedudukan seseorang sebagai pemimpin tidaklah menafikkan keberadaannya sebagai yg dipimpin ditinjau dari segi lain.[2]
2. Pemimpin Pelayan Masyarakat (اللؤلؤ والمرجان:١٢٠٠) Hadits : ١٢٠٠~ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ عَنِ الحَسَنِ, أَنَّ عُبَيْدَاللهِ اِبْنَ زِيَادٍ عَادَ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ فِي مَارَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيْهِ, فَقَالَ لَهُ مَعْقِلٌ : إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَادِثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ , سَمِعْتُ النَّبِيَّ , يَقُولُ : مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللهُ رَعِيَةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيْحَةٍ إِلاَّ لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الجَنَّةِ (أخرجه البخري في : ٣٩ كتاب الأحكام :٨ باب من استرعى رعية فلم ينصح رقيق) Terjemah: 1200 ~ Ma’qil bin Yasar, dari Al-Hasan, sesungguhnya Ubaidillah bin Ziyad menjenguk Ma’qil bin Yasar ketika dia sakit sebelum dia meninggal. Maka Ma’qil berkata kepada Ubaidillah bin Ziyad: aku akan menyampaikan kepadamu sebuah hadits yg telah aku dengar dari Rasulullah . aku telah mendengar beliau bersabda: Tiada seorang hamba yg diberi amanah rakyat oleh Allah lalu ia tak memeliharanya dgn baik, melainkan hamba itu tak akan mencium bau surga. [Al-bukhari meletakkan hadits ni di: 93 Kitab Hukum: 8. Bab orang yg diberi amanah lalu tak memeliharanya]
Penjelasan: Al Karmani berkata, Pengertian hadits ni menunjukkan bahwa dia mendapatkan aromanya, padahal ni bertentangan dgn yg dimaksudkan hadits. Oleh karena itu, mesti disisipkan illa (melainkan), yakni melainkan dia tak mendapatkan. Lalu kalimat pelengkapnya tak disebutkan. Perkiraannya adalah, tidaklah seorang hamba melakukan seperti ni melainkan Allah mengharamkan surga baginya.
Ibnu Bathal berkata, ni adlh anaman keras terhadap para pemimpin zalim yg menyia-nyiakan amanah yg dititipkan Allah keada mereka, / mengkhianati rakyat, / menzalimi mereka, sehingga dia dituntut karena menzalimi para hamba pd hari kiamat. Bagaimana dia mampu berlepas dari kezaliman umat yg demikian banyak.
Ibnu At-Tin menukil dari Addawudi sama sepertinya, dia berkata, mungkin ni jg berkenaan dgn orang kafir. Karena orang mukmin akan menggunakan wewenangnya dgn baik.
Ath-Thaibi berkata, huruf fa’ pd kalimat فَلَمْ يَحُطْهَا sama seperti huruf lam pd firman Allah dlm surah Al-Qashash ayat 8;
فَالْتَقَطَهُ آلُ فِرْعَوْنَ لِيَكُونَ لَهُمْ عَدُوّاً وَحَزَناً إِنَّ فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَجُنُودَهُمَا كَانُوا خَاطِئِينَ Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir`aun yg akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir`aun dan Haman beserta tentaranya adlh orang-orang yg bersalah.
Maksudnya, Allah hanya memberikan kekuasaan kepadanya atas hamba-hamba-Nya agar senantiasa berlaku lurus terhadap mereka hingga meninggal dlm keadaan demikian. Tetapi ketika dia membalikkan urusan maka dia patut diberi hukuman.[3]
Kejujuran adlh modal yg paling mendasar dlm sebuah kepemimpinan. Tanpa kejujuran, kepemimpinan ibarat bangunan tanpa pondasi, dari luar nampak megah tapi di dalamnya rapuh dan tak bisa bertahan lama. Begitu pula dgn kepemimpinan, bila tak didasarkan atas kejujuran orang-orang yg terlibat di dalamnya, maka jangan harap kepemimpinan itu akan berjalan dgn baik. Tapi kejujuran di sini tak bisa hanya mengandalakan pd satu orang saja, kepada pemimpin saja misalkan. Akan tetapi semua komponen yg terlibat di dalamnya, baik itu pemimpinnya, pembantunya, staf-stafnya, hingga struktur yg paling bawah dlm kepemimpnan ini, semisal tukang sapunya, harus menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Hal itu karena tak sedikit dlm sebuah kepemimpinan, / sebuah organisasi, terdapat pihak yg jujur tapi jg terdapat pihak yg tak jujur. Bila pemimpinnya jujur tapi staf-stafnya tak jujur, maka kepemimpinan itu jg akan rapuh. Begitu pula sebaliknya.
Tapi secara garis besar, yg sangat ditekankan dlm hadis ni adlh seorang pemimpin harus memberikan suri tauladan yg baik kepada pihak-pihak yg dipimpinnya. Suri tauladan ni tentunya harus diwujudkan dlm bentuk kebijakan-kebijakan / keputusan-keputusan pemimpin yg tak menipu dan melukai hati rakyatnya. Pemimpin yg menipu dan melukai hati rakyat, dlm hadis ni disebutkan, diharamkan oleh allah untk mengninjakkan kaki si sorga. Meski hukuman ni nampak kurang kejam, karena hanya hukuman di akhirat dan tak menyertakan hukuman di dunia, tapi sebenarnya hukuman haram masuk sorga ni mencerminkan betapa murkanya allah terhadap pemimpin yg tak jujur dan suka menipu rakyat.[4]
3. Larangan Berambisi Menjadi Pemimpin (اللؤلؤ والمرجان:١١٩٧-١١٩٨) Hadits:
١١٩٧~ عَبْدِالرَّحْمنِ بنِ سَمُرَةَ, قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ : يَا عَبْدَ الرَّحْمنِ بنَ سَمُرَةَلاَ تَسْأَلِ الإِمَارَةَ, فَإِنَّك إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ مَسئَلةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا, وَإِنْ أُو تِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْئَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيهَا (أخرجه البخري في : ٨٣ كتاب الأيمان و النذور :١ باب قول الله تعل ﴿لايؤاخذكم الله باللغو في أيمانكم﴾)
Terjemah: 1197 ~ Abdurrahman bin Samurah, dia berkata: Nabi , bersabda: Ya Abdurrahman bin Samurah, engkau jangan meminta-minta jabatan, sebab jika jabatan itu diserahkan kepadamu berdasarkan permintaanmu, maka akan diserahkan sepenuhnya. Sebaliknya jika jabatan itu diserahkan kepadamu bukan atas dasar permintaanmu, maka kamu akan dibantu mengatasinya.[Al-Bukhari meletakkan hadits ni di: 83. Kitab Sumpah dan Nadzar: 1. Bab firman Allah Ta’ala: Allah tak menghukummu atas sumpah yg tak engkau maksudkan.] Penjelasan: Makna dari hadits tersebut adalah, barang siapa meminta jabatan lalu diberikan maka dia tak akan ditolong karena ambisinya itu. Dari sini dpt disimpulkan bahwa meminta sesuatu yg berkenaan dgn jabatan adlh makruh (tidak disukai). Maksud dlm jabatan ni adlh pemerintahan, pengadilan, keuangan, dan lainnya. Barang siapa yg berambisi mendapatkan demikian maka dia tak akan diberi pertolongan. Tapi secara lahir, hadits ni bertentangan dgn riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah yg diriwayatkan secara marfu’;
مَن طَلَبَ قَضَاءَ المُسلِمِينَ حَتَّى يَنَا لَهُ ثُمَّ غَلَبَ عَدْلُهُ جَوْرَهُ فَلَهُ الجَنَّةُ, وَ مَنْ غَلَبَ جَوْرُهُ عَدْلُهُ فَلَهُ النَّار (barang siapa meminta jabatan untk mengadili kaum muslimin hingga mendapatkannya kemudian keadilannya mengalahkan kecurangannya maka baginya surga. Tetapi barangsiapa yg kecurangannya mengalahkan keadilannya maka baginya neraka) Untuk mengompromikan antara kedua riwayat tersebut dikatakan, bahwa keberadaannya tak diberi pertolongan sama sekali tak berkonsekuensi bahwa dirinya tak dpt berbuat adil bila sempat memangku jabatan. Atau kata ‘meminta’ di sini dipahami dgn arti ‘bermaksud’. Oleh karena itu, yg menjadi pasangannya adlh pertolongan, karena barangsiapa yg tak mendapatkan pertolongan dari Allah terhadap pekerjaannya, maka dia tak akan mampu menunaikan pekerjaan itu. Sehingga tak patut memenuhi, permintaannya karena diketahui bahwa suatu jabatan tak akan luput dari kesulitan. Barangsiapa tak mendapatkan pertolongan dari Allah, maka dia mendapatkan kesulitan dlm pekerjaannya dan merugi dunia akhirat. Orang yg berakal sehat tentu tak akan mau memintanya sama sekali. Bahkan bila dia memiliki kemampuan lalu diberi jabatan tanpa meminta maka dia dijanjikan akan mendapat pertolongan.
Al Muhallab berkata, Termasuk makna ‘dipaksakan’adalah diberi jabatan itu dan dia melihat dirinya tak layak memangkunya karena pengangungan dan ketakutan akan terjerumus dlm perbuatan yg terlarang. Dalam kondisi seperti itu dia akan ditolong serta diluruskan. Asas bagi masalah ni bahwa siapa merendah untk Allah, maka dia mengangkatnnya.[5]
Hadits:
١١٩٨~ أَبِي مُوسى وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ أَبُو مُوسى: أَقْبَلْتُ إِلَى النَّبِيِّ , وَمَعِي رَجُلاَنِ مِنَ الأَشْعَرِيِّينَ, أَحَدُهُمَا عَنْ يَمِينِي وِالآخَرُ عَنْ يَسَارِي, وَرَسُلُ اللهِ , يَسْتَاكُ فَكِلاَهُمَاسَأَلَ, فَقَالَ: يَا أَبَا مُوسى أَو يَا عَبْدَاللهِ بْنَ قَيْسٍ قَالَ, قُلْتُ: وَالَّذِي بَعَثَك بِالَحَقِّ مَا أَطْلَعَانِي عَلَى مَا فِي أَنْفُسِهِمَا, وَمَا شَعَرْتُ أَنَّهُمَا يَطْلُبَانِ العَمَلَ فَكَأَنِّي أ!نْظُرُ إِلَى سِوَاكِهِ تَحْتَ شَفَتِهِ قَلَصَتْ فَقَالَ: لَنْ أَوْلاَ نَستَعْمِلُ عَلَى عَمَلِنَا مَنْ أَرَادَهُ, وَلَكِنْ اذَهَبْ أَنتَ يَا أَبَا مُوسَى أَوْ يَا عَبْدَاللهِ بْنَ قَيْسٍ إِلَى اليَمَنِ ثُمَّ اتَّبَعَهُ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ فَلَمَّ قَدِمَ عَلَيْهِ أَلْقَى لَهُ وِسَادَةً, قَالَ: انْزِلْ وَإِذَا رّجُلٌ عِنْدَهُ مُثَقٌ قَالَ: مَا هَذَا قَالَ: كَانَ يَهُودِيًّا فَأسْلَمَ ثُمَّ تَهَوَّدَ قَلَ: اجْلِسْ قَلَ: لاَ أَجْلِسُ حَتَّى يُقْتَلَ, قَضَاءُ اللهِ وَرَسُلِهِ, ثَلاَثَ مَرَّاتٍ فَأَمَرَبِهِ فَقُتِلَ ثُمَّ تَذَاكَرَا قِيَامَ اللَّيلِ فَقَالَ أَحَدُهُمَا: أَمَّا أَنَا فَأَقُومُ وَانَامُ, وَأَرْجُوفِي نَوْمَتِي مَا أَرْجُوفِي قَومَتِي (أخرجه البخري في : ٨٨ كتاب استتابه المرتدين:٢ باب حكم المرتدوالمرتدة)
Terjemah: 1198~ Abu Musa berkata: aku datang kepada rasulullah , bersama dua orang suku Asy’ari. Yang satu di sebelah kananku dan yg satu di sebelah kiriku. Sementara itu Rasulullah , sedang bersiwak. Lalu kedua orang itu meminta jabatan, maka Nabi , menegur: Hai Abu Musa / hai Abdullah bin Qais. Aku menjawab: demi Allah yg telah mengutusmu dgn haq, keduanya tak memberi tahu kepadaku maksudnya / aku tak tahu kalau keduanya ingin jabatan. Akupun melihat beliau berhenti bersiwak, lalu bersabda: kami tak akan mengangkat seseorang untk bekerja kepada kami jika orang itu memintanya. Tetapi engkau wahai Abu Musa, pergilah ke Yaman. Kemudian di ikuti oleh Mu’az bin Jabal. Dan ketika Mu’az sampai ke tempat Abu Musa, langsung diberinya sandaran bantal dan menyuruhnya tinggal di situ. Tiba-tiba Mu’az melihat orang yg terikat, maka dia bertanya: mengapakah orang itu? Abu Musa menjawab: dia dahulunya orang Yahudi kemudian masuk Islam, tapi ia kembali ke Yahudi. Maka Mu’az dipersilahkan duduk. Tapi Mu’az berkata: aku tak akan duduk sehingga orang itu dibunuh. Begitulah putusan (hukum) Allah dan Rasulullah. Diulangnya kalimat itu tiga kali. Maka Abu Musa segera memerintahkan agar orang Yahudi itu dibunuh. Kemudian keduannya membicarakan soal bagun malam, maka yg satu berkata: aku bangun dan tidur, dan tetap mengharap ridha Allah dlm tidurku sebagaimana aku mengharap ridha-Nya dlm bangunku.[Al-Bukhari meletakkan hadits ni di: 88. Kitab Meminta Taubat Orang yg Murtad: 2. Bab Hukum Orang yg Murtad.]
Penjelasan: Hadits Abu Musa Al-Asy’ari di atas mencakup empat hukum, yaitu: 1) Siwak 2) Terelanya meminta jabatan dan larangan berambisi mendapatkan jabatan. 3) Abu Musa diutus ke Yaman, dan jg dikirimnya Mu’az ke sana. 4) Kisah orang Yahudi yg memeluk Islam, kemudian murtad. Adapun makna dari hukum pd poin kedua di atas memiliki penjelasan yg sama dgn hadits sebelumnya bahwa, kepemimpinan, jabatan, kekuasaan, dan kedudukan tak boleh diberikan kepada orang yg memintanya, berambisi untk meraihnya, dan menempuh segala cara untk dpt mendapatkannya.[6]
Menukil perkataan al-Muhallab dlm Fathul Baari (XIII/126), "Ambisi untk mendapatkan suatu jabatan merupakan penyebab timbulnya peperangan di kalangan manusia hingga terjadi pertumpahan darah dan perampasan harta, pemerkosaan dan penyebab utama terjadinya kerusakan besar di muka bumi." Saya katakan, "Inilah makna dari sabda Rasulullah saw, 'Kalian nantinya akan berambisi untk menjadi penguasa..., "
Bagi siapa yg meminta jabatan pemerintahan maka ia tak boleh diberi jabatan itu. Islam tak memberikan jabatan kekuasaan kepada orang yg memintanya, menginginkannya dan berambisi untk mendapatkannya. Orang yg paling berhak mendapatkan jabatan kekuasaan adlh orang yg menjauhkan diri dan tak suka menerimanya.
Meminta sebuah jabatan kekuasaan / jabatan yg berkaitan dgn pemerintahan seperti jabatan hakim, bendahara dan jabatan lainnya yg mengurus kepentingan masyarakat, sangat berpengaruh dgn kemaslahatan pribadi. Barangsiapa yg seperti itu keadaannya maka tak disangsikan lagi bahwa ia akan sanggup berbuat dosa untk meraih apa yg ia anggap mulia dan untk mewududkan ambisinya. Adapun orang yg takut terhadap hukum ini, ia lebih mempunyai peluang besar untk berbut adil dan lebih mampu menahan diri dari perbuatan dosa. [7]
4. Batasan Ta’at Kepada Pemimpin (اللؤلؤ والمرجان:١٢٠٥-١٢٠٦) Hadits:
١٢٠٥~ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ , عَنِ النَّبِيِّ , قَالَ: السَّمْعُ وَالطَاعَةُ عَلَى المَرْءِ المُسلِمِ فِيْـماَ أَحَبَّ وَكَرِهَ, مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ؛ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَا عَةَ (أخرجه البخري في : ٩٣ كتاب الأحكام:٤ باب السمع و الطعة للإمام ما لم تكن معصية)
Terjemah: 1205~ Abdullah bin Umar , dia berkata: Nabi bersabda: Mendengar dan ta’at itu wajib atas seseorang, baik suka maupun benci, selama ia tak diperintah untk berbuat maksiat. Jika diperintah untk berbuat maksiat, maka tak ada kewajiban mendengar dan tak wajib taat.[Al-Bukhari meletakkan hadits ni di: 93. Kitab Hukum: 4. Bab. Mendengar dan Ta’at kepada Imam selama bukan dlm hal maksiat.]
Penjelasan: فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَا عَةَ (Jika diperintah untk berbuat maksiat, maka tak ada kewajiban mendengar dan tak wajib taat). Maksudnya, tak wajib mendengar dan taat, bahkan haram bagi siapa yg mampu untk tak melakukannya. Ringkasnya, pemimpin dipecat dgn sebab kekufuran menurut ijma’. Wajib bagi tiap muslim melakukan hal itu. Bagi siapa yg memiliki kekuatan melakukannya maka dia akan memperoleh pahala. Sedangkan orang yg larut di dalamnya akan memperoleh dosa. Orang yg tak melakukan apa pun maka dia wajib hijrah dari negeri tersebut.
Hadits:
١٢٠٦~ عَلِيِّ , قَالَ: بَعْثَ النَّبِيّ , سَرِيَّةً وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ رَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ وَأَمَرَهُمْ أَنْ يُطِيْعُوهُ فَغَضِبَ عَلَيْهِم, وَقَالَ: أَلَيْسَ قَدْ أَمَرَ النَّبِيُّ , أَنْ تُطِيْعُونِي قَالُوا: بَلَى قَالَ: عَزَمتُ عَلَيْكُمْ لَمَا جَمَعْتُمْ حَطَبًا وَأَوقَدْتُمْ نَارًا ثُمَّ دَخَلْتُمْ فِيهَا فَجَمَعُواحَطَبَا, فَأَوْقَدُوْا فَلَمَّا هَمُّوا بِدُّخُولِ, فَقَامَ يَنْزُرُ بَعْضُهُمْ: إِنَّمَا تَبِعْنَا الـنَّبِيَّ , فِرَارً مِنَ النَّارِ, أّفَنَدْخُلُهَا فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ إِذْ خَمَدَتِ الـنَّرُ, وَسَكَنَ غَضَنبُهُ فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ , فَقَالَ لَوْدَخَلُوهَا مَا خَرَجُوا مِنْهَا أ بَدًا, إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي المَعْرُوف (أخرجه البخري في:٩٣ كتاب الأحكام: ٤ باب السمع و الطاعة للإمام مالم تكن معصيه)
Terjemah: 1206~ Ali berkata: Rasulullah mengirim sariyah (pasukan yg berjumlah 300-400 orang) dan diserahkan kepemimpinannya kepada salah seorang sahabat Ansar. Suatu saat dia marah kepada pasukannya dan berkata: tidakkah Nabi menyuruh kalian menurut kepadaku? Mereka menjawab: Benar. Kini aku perintahkan kalian untk mengumpulkan kayu dan menyalakan api kemudian kalian masuk ke dlm api itu. Maka merekapun mengumpulkan kayu dan menyalakan api, dan ketika akan masuk ke dlm api, mereka saling pandang satu sama lain dan berkata: kami mengikuti Nabi karena takut dari api (neraka). Apakah kami akan memasukinya? Tidak lama kemudian padamlah api dan reda jg amarah pemimpin itu. Lalu kejadian itu di sampaikan kepada Nabi. maka beliau bersabda: Andaikan mereka masuk ke dlm api itu, niscaya mereka tak akan keluar selamanya, sesungguhnya wajib taat itu hanya dlm kebaikan.[Al-Bukhari meletakkan hadits ni di: 93 kitab Hukum: 4 bab mendengar dan taat kepada imam selama bukan dlm kemaksiatan]
Penjelasan: Perkataan إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي المَعْرُوف (, sesungguhnya wajib taat itu hanya dlm kebaikan.) pembahasannya ada pd surah Annisa:59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ ...﴿٥٩ (Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil Amri kalian) Dalam ayat ni Allah menjadikan ketaatan kepada pemimpin pd urutan ketiga setelah ketaatan pd Allah dan Rasul-Nya. Namun, untk pemimpin di sini tidaklah datang dgn lafazh ‘ta’atilah’ karena ketaatan kepada pemimpin merupakan ikutan (taabi’) dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, apabila seorang pemimpin memerintahkan untk berbuat maksiat kepada Allah, maka tak ada lagi kewajiban dengar dan ta’at.
Ibnu Abil ‘Izz mengatakan, Hukum mentaati pemimpin adlh wajib, walaupun mereka berbuat zholim (kepada kita). Jika kita keluar dari mentaati mereka maka akan timbul kerusakan yg lebih besar dari kezholiman yg mereka perbuat. Bahkan bersabar terhadap kezholiman mereka dpt melebur dosa-dosa dan akan melipat gandakan pahala. Allah Ta’ala tak menjadikan mereka berbuat zholim selain disebabkan karena kerusakan yg ada pd diri kita juga. Ingatlah, yg namanya balasan sesuai dgn amal perbuatan yg dilakukan (al jaza’ min jinsil ‘amal). Oleh karena itu, hendaklah kita bersungguh-sungguh dlm istigfar dan taubat serta berusaha mengoreksi amalan kita.
Ada yg mengatakan bahwa pemimpin itu tak benar-benar bermaksud memasukkan mereka ke dlm api. Dia sebenarnya hendak mengisyaratkan bahwa ketaatan pemimpin adlh wajib dan siapa yg meninggalkan kewajiban tersebut maka dia masuk neraka. Jika terasa berat bagi kamu memasuki api itu maka bagaimana dgn api yg lebih besar lagi. Ini mengesankan seolah-olah maksudnya adlh apabila dia melihat dari mereka kesungguhan untk memasukinya, maka dia akan mencegah mereka.[9]
5.Wanita Menjadi Pemimpin (بلغ المرام:١٤٢٢)
Hadits:
١٤٢٢~ وَ عَنْ أَبِي بَكَرَةَ , عَنِ الـنَّبِيِّ قَالَ: لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ اَمْرَةً (رواه البخاري)
Terjemah: Dari Abu Bakrah bahwa Nabi bersabda: "Tidak akan bahagia suatu kaum yg menyerahkan kekuasaan mereka kepada seorang perempuan."[Riwayat Bukhari]
Penjelasan: Al Khathabi berkata, Dalam hadits ni terdapat keterangan bahwa wanita tak dpt diangkat menjadi pemimpin maupun hakim, ni jg menjelaskan bahwa dia tak dpt menikahkan dirinya, dan tak berhak menikahkan selainnya. Namun, pernyataannya kurang tepat. Mengenai larangan seorang wanita memegang kekuasaan pemerintah dan hakim adlh pendapat jumhur. Namun, Ath-Thabari membolehkannya, dan ia adlh salah satu dari riwayat Imam Malik. Adapun Abu Hanifah membolehkan bagi kaum wanita menjadi hakim dlm perkara-perkara yg diterima kesaksiannya.
Adapun alasan para jumhur tak membolehkan wanita menjadi pemimpin diantaranya: 1) Pemimpin wanita pasti merugikan Al Baghowiy mengatakan dlm Syarhus Sunnah (10/77) pd Bab Terlarangnya Wanita Sebagai Pemimpin:
Para ulama sepakat bahwa wanita tak boleh jadi pemimpin dan jg hakim. Alasannya, karena pemimpin harus memimpin jihad. Begitu jg seorang pemimpin negara haruslah menyelesaikan urusan kaum muslimin. Seorang hakim haruslah bisa menyelesaikan sengketa. Sedangkan wanita adlh aurat, tak diperkenankan berhias (apabila keluar rumah). Wanita itu lemah, tak mampu menyelesaikan tiap urusan karena mereka kurang (akal dan agamanya). Kepemimpinan dan masalah memutuskan suatu perkara adlh tanggung jawab yg begitu urgent. Oleh karena itu yg menyelesaikannya adlh orang yg tak memiliki kekurangan (seperti wanita) yaitu kaum pria-lah yg pantas menyelesaikannya.
2) Wanita kurang akal dan agama Rasulullah Saw. Bersabda, Tidaklah aku pernah melihat orang yg kurang akal dan agamanya sehingga dpt menggoyangkan laki-laki yg teguh selain salah satu di antara kalian wahai wanita. Lalu ada yg menanyakan kepada Rasulullah, Wahai Rasulullah, apa yg dimaksud kurang akalnya? Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam pun menjawab, Bukankah persaksian dua wanita sama dgn satu pria? Ada yg menanyakan lagi, Wahai Rasulullah, apa yg dimaksud dgn kurang agamanya? Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam pun menjawab, Bukankah ketika seorang wanita mengalami haidh, dia tak dpt melaksanakan shalat dan tak dpt berpuasa? (HR. Bukhari dan Muslim)
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menjelaskan bahwa yg dimaksud dgn kurang akalnya adlh dari sisi penjagaan dirinya dan persaksian tak bisa sendirian, harus bersama wanita lainnya. Inilah kekurangannya, seringkali wanita itu lupa. Akhirnya dia pun sering menambah-nambah dan mengurang-ngurangi dlm persaksiannya. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman,
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى Dan persaksikanlah dgn dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yg kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yg seorang mengingatkannya. (QS. Al Baqarah: 282)
Yang dimaksud dgn kurangnya agama adlh ketika wanita tersebut dlm kondisi haidh dan nifas, dia pun meninggalkan shalat dan puasa, jg dia tak mengqodho shalatnya. Inilah yg dimaksud kurang agamanya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 4/292)
Kesimpulan Bahwa tiap manusia adlh pemimpin yg akan dituntut pertanggung jawabannya terhadap apa yg dia pimpin.Seorang pemimpin harus menjalankan amanahnya dgn baik dan menjadi suri teladan yg baik terhadap apa yg dia pimpin. Sebagai orang yg beriman kita tak boleh mengincar suatu jabatan / berambisi menjadi pemimpin.Sebagai umat yg dipimpin, kita wajib taat kepada pimpinan kita, baik suka maupun tidak. Tapi dilarang taat apabila perintah pemimpin itu adlh kemaksiatan.Jumhur ulama tak membolehkan wanita menjadi pemimpin, karena mendatangkan beberapa mudharat.
Daftar Pustaka Al Asqalani, Ibnu Hajar. 2009. Fathul Baari. Jakarta: Pustaka Azam http://zunlynadia.wordpress.com/2010/12/28/hadis-hadis-tentang-pemimpin/ http://alislamu.com/larangan/127-dalam-fitnah-fitnah/3298-larangan-meminta-jabatan.html http://rumaysho.wordpress.com/2009/01/31/harus-tetap-taat-pada-pemimpin/ http://rumaysho.com/belajar-islam/jalan-kebenaran/2985-alasan-wanita-tidak-pantas-jadi-pemimpin.html [1] Maksudnya dicantumkannya dlm كتاب العتق di فتح الباري [2] Ibnu Hajar Al Asqalani. Fathul Baari. Kitab Al-Ahkam. (Jakarta: Pustaka Azam, 2009) hal. 389-391 [3] Ibid. hal. 440-444 [4] http://zunlynadia.wordpress.com/2010/12/28/hadis-hadis-tentang-pemimpin/ [5] Ibnu Hajar Al Asqalani. Opcit. hal. 428-431 [6] http://zunlynadia.wordpress.com opcit [7]http://alislamu.com/larangan/127-dalam-fitnah-fitnah/3298-larangan-meminta-jabatan.html [8] Ibnu Hajar AL Asqalani. Opcit. hal. 424-425 [9] http://rumaysho.wordpress.com/2009/01/31/harus-tetap-taat-pada-pemimpin/ [10] Ibnu Hajar Al Asqalani. Opcit. 436 [11]http://rumaysho.com/belajar-islam/jalan-kebenaran/2985-alasan-wanita-tidak-pantas-jadi-pemimpin.html
0 Response to "HADITS TENTANG KEPEMIMPINAN - TEKHNOLOGI"
Post a Comment