Assalamualaikum
Mau curhat cerita sedikit, sebelumnya untk post kali ni saya ingin mencoba haluan yg berbeda. setelah minta izin ke admin satunya untk membuat post ini, kenapa harus izin? Karena... ni adlh postingan soal CREEPPYYYPASTAAAA!! Meskipun tampilan blog ni benar benar ga mendukung untk postingan kali ini, tapi tak apalah.
Kalian tau apa itu Creepypasta? menurut beberapa sumber yg pernah saya baca, itu adlh istilah plesetan dari “copypasta” yakni istilah slang di internet untk tulisan yg dicopas dari sebuah situs ke situs yg lain, tapi sesuai dgn namanya, yg di-copas ni adlh hal hal yg bertema creepy / menyeramkan, biasanya cerita pendek / gambar/foto yg memang sangat mudah untk di-copas dan disebarluaskan.
Creepypasta ni bercerita tentang seorang psikiater yg mendapatkan pasien dgn gangguan pola makan. Sang pasien ternyata terjebak di dlm lift di dlm perjalanannya menemui sang psikiater. Apa yg terjadi selanjutnya akan membuat kalian shock. Pribadi, kurasa ni cerita paling menakutkan di list ini.
Sebagai seorang dokter ahli jiwa, aku terikat dgn kerahasiaan antaraa dokter-pasien dan tak diperkenankan memberitahukan pd siapapun mengenai kondisi pasien2ku. Tapi kali ini, aku merasa perlu untk menceritakannya. Cerita ini, tanpa perlu kuragukan lagi, adlh pengalaman paling menakutkan yg pernah kualami sepanjang praktekku sebagai psikiater.
Kisah ni terjadi tahun 2009 dan jadwalku saat itu sedang longgar. Aku sedang menghabiskan makan siangku kettika aku mendapat telepon dari kolegaku yg membuka praktek di gedung yg sama denganku. Kadang kala kami memang sering mengirimkan pasien satu sama lain apabila salah satu dari kami sedang sibuk.
“Hei, apa kau sedang sibuk? Aku ingin mengirim seseorang kepadamu.” katanya.
“Tidak kok. Bagaimana detail pasiennya?”
“Gangguan pola makan. Ibunya sangat khawatir sehingga mengirimnya kepadaku.”
Gangguan pola makan. Hmm ... itu kasus yg tak terlalu menyenangkan. Sebenarnya aku pernah memiliki pasien penderita bullimia yg muntah di kantorku selama terapi. Aku melirik jadwalku sejenak. Yah, kurasa aku bisa menerimanya.
“Oke, kirim dia!”
“Thanks. Aku kirim dia sekarang.”
Aku mencoba merapikan mejaku dan menunggunya. Setelah 10 menit menanti, aku mulai tak sabar dan keluar untk mencarinya. Ketika aku sampai di lorong, kulihat ada kerumunan orang berdiri di depan elevator. Mereka saling bercakap-cakap satu sama lain, seperti mendiskusikan sesuatu.
“Ada apa ini?” tanyaku.
“Lift-nya macet.” jawab salah satu dari mereka.
Sial, pasti dia terjebak di dalamnya.
“Di lantai berapa?”
“Di antara lantai 10 dan 11.”
Yup, pasti ia ada di dalamnya. Kantor rekanku itu berada di lantai 10, sekitar 3 lantai dari sini. Menurut pengalamanku, bisa sejam hingga operator bisa memperbaiki lift ini. Aku harap dia tak klaustrofobia. Kembali ke kantorku, aku lalu menelepon rekanku.
“Bagaimana?’ jawab kolegaku di dlm telepon.
“Ia terjebak di dlm lift.”
“Benarkah? Gadis yg malang” ia tertawa.
“Siapa namanya?”
“Amelia,” ia mencoba mengingat, “Amelia D-sesuatu ...”
“Oke, thanks. Bagaimana jika kita minum sehabis pulang kerja, lalu kita bisa bertukar opini mengenai kasusnya.”
“Oke, dia itu ...”
“Eits, jangan katakan dulu. Aku ingin membentuk opiniku sendiri tanpa ada pengaruh darimu, oke?”
“Oke.”
Ternyata benar dugaanku, baru sejam kemudian, aku mendengar sorakan dari ujung lorong. Itu tanda lift itu akhirnya bekerja kembali.
Aku harus memastikan ia baik-baik saja. Kemudian aku kembali bergabung dgn kerumunan orang2 di depan lift.
Ada lebih banyak orang ketimbang tadi sehingga aku tak bisa melihat pintu lift dari balik punggung mereka. Tapi aku mendengar suara berdenting yg menandakan lift itu berhenti di lantai kami dan suara bergeser ketika lift itu membuka.
“Holy shit!” seseorang langsung berteriak.
Orang-orang mulai menjauh dari depan lift. Aku mencoba maju mendesak tubuh orang2 di depanku karena ingin melihat apa yg ada di dlm lift. Begitu aku mendekat, aku mulai mencium bau ini. Baunya seperti membuka kamar apartemen dan seseorang yg belum mandi selama bertahun-tahun keluar. Bau itu mengalir keluar dari dlm lift dan membanjiri sepanjang lorong. Seorang pemuda berpakaian jas langsung menutup mulut dan hidungnya dgn sapu tangan. Akhirnya aku bisa melihat dgn jelas apa yg membuat reaksi orang2 seperti itu.
Wanita di dlm lift itu sama sekali tak seperti yg aku bayangkan. Ia mengalami obesitas yg sangat parah, ia terlihat berbobot sekitar 200 kg. Wajahnya benar2 tambun hingga matanya hampir2 tak terlihat, hanya tampak seperti dua titik hitam di atas pipinya. Ia memiliki rambut cokelat yg keriting.
Mulutnya tertutup oleh sesuatu yg tampak seperti saus barbekyu yg penuh minyak. Bahkan masih ada sisa tulang di sudut mulutnya. Ia menggerakkan tangan gemuknya untk membersihkan serpihan di bajunya, sisa makanan. Ia terlihat seperti habis dari bufet all-you-can-eat dgn berbagai menu daging. Terpegang erat di salah satu tangannya adlh sebuah tas plastik hitam besar, seperti sebuah plastik sampah. Ketika ia menggerakkannya, apapun yg ia simpan di dalamnya tampak teraduk-aduk. Bau busuk itu rupanya tak keluar dari badan wanita itu, melainkan dari dlm plastik sampah itu.
Wanita itu berjalan keluar dari lift. Mata dan hidungnya penuh dgn air mata dan lendir yg terus mengalir. Aku justru maju ketika orang2 lain mundur karena ketakutan.
“Amelia?” aku bertanya kepadanya.
Ia menatapku dgn matanya yg kecil bak manik2. Pipinya belepotan dgn noda sampah merah yg bercampur dgn air mata. Ia mulai membuka mulutnya dan aku sempat berpikir bahwa ia akan memuntahkan seluruh barbekyu yg ia lahap ke arahku.
“A ... aku tadi lapar ...” ia berkata dgn aksen Selatan yg tergagap.
Pria berpakaian jas tadi bergidik karena bau napas wanita itu dan segera melangkah pergi.
“Tidak apa-apa,” aku mencoba meraihnya untk menolongnya, “Apa kau ingin membicarakannya di kantorku?”
Melihatku mencoba meraihnya, ia mengenggam lebih erat tas plastik hitam besar dan memeluknya di depan dadanya. Isinya menimbulkan suara yg membuatku muak. Aku bisa merasakan makan siangku tadi naik ke belakang tenggorokanku.
“Apa itu milikmu?’ tanyaku, “Aku takkan mengambilnya.”
Ia mulai menangis. Suara cukup membuatku ngeri, seperti suara babi mengikik. Jujur, aku tak mau menyentuhnya. Aku ingin kembali ke kantor, mengunci pintuku, dan berpura2 tak pernah menerima pasien sepertinya. Bau dan tumpahan apapun yg ada di dlm tasnya bisa mengendap di dlm kantorku selama berminggu-minggu. Tapi tetap saja, ia adlh manusia dan ia membutuhkan bantuanku. Aku tak bisa begitu saja memalingkan muka.
“Kantorku tak jauh dari sini. Mengapa kau tak ikut denganku ke sana?” aku mulai berjalan. Di benakku, jika saja ia tak mengikutiku, malah bagus. Ia bisa kembali ke apartemennya yg kemungkinan besar penuh dgn kecoa dan feses dan siapa tahu kotoran2 memuakkan lainnya, dan aku akan mencari pasien lain.
Tapi ia mengikutiku, dgn langkah tertatih-tatih. Aku membuka pintu untuknya dan ia masuk dgn lemak pd tubuhnya bergoyang2. Ia masih memegang kantong sampahnya dgn jari belepotan saus barbekyu sambil sesekali bersendawa. Ia kemudian hanya berhenti di tengah ruangan kantorku.
“Lift ... litnya tadi macet ...” ia bergumam.
“Ya, saya tahu. Saya ikut prihatin. Saya harap anda baik-baik saja. Tapi untung saja anda membawa sesuatu untk dimakan, bukan?”
Ia mulai menangis lagi, sambil meremas kantong sampahnya, yg aku takutkan akan meledak dan menumpahkan seluruh isinya yg entah-hanya-Tuhan-yang-tahu ke atas karpetku. Ia mengangguk ketika wajahnya memerah dan air mata mengalir deras seakan keluar dari tiap pori2 wajahnya.
Aku kemudian mengambilkannya tisu dan ia mengambilnya, tetap sambil mengenggam erat tas sampahnya, seakan takut aku akan mencurinya.
“Apa anda ingin saya untk memeganginya sebentar?” tanyaku sambil berdoa dlm hati agar ia mengatakan tidak.
Ia menggeleng. Syukurlah.
“Apa yg ada di dlm sana?” aku menunjuk ke kantong plastik besar yg dipegangnya.
Ia gusar dan mendengus, mencoba menyedot kembali semua cairan kembali ke dlm wajahnya. Dengan menggunakan satu tisu, ia menyapu seluruh wajahnya, hingga meratakan noda merah di mulutnya ke penjuru wajahnya.
“Sisa ... sisa makanan ...” ia menjawab dgn terbata-bata. Dadanya tampak naik turun dan ia mulai terisak kembali. Wajahnya kini serupa dgn air mancur. Aku mulai merasa kasihan padanya. Ia tampak sangat menderita.
“Lihat,” kataku, “terjebak di dlm lift sungguh adlh sebuah pengalaman traumatis.”
Isakannya mulai terdengar melengking.
“Jadi kenapa kita tak tunda saja pertemuan kita sampai Anda merasa tenang.”
Ia berusaha menjawab di tengah isakannya, “An ... Anda ingin bertemu saya?”
“Ya, hanya bukan hari ini. Mengapa Anda tak pulang dulu saja dan mencoba santai. Saya tak berpikir Anda dlm mood yg tepat untk membicarakan semua permasalahan Anda. Tapi saya sangat ingin menolong Anda. Jadi, mari kita jadwalkan kembali pertemuan kita untk minggu ini. Bagaimana menurut Anda?”
Aku berjalan kembali ke mejaku dan mengambil kartu nama. Mulutnya masih gemetar dan tampaknya ia sebentar lagi akan menjadi tumpukan lendir yg menjerit gila-gilaan. Tapi ia justru tampak lebih tenang dan mengangguk, kemudian mengambil kartu namaku dgn jari2 yg masih mengenggam tisu2 yg lengket dan basah.
“Te ... terima kasih ...” ia berkata. Aku hampir tak bisa membaca wajahnya. Seluruh mukanya tampak merah, bengkak, dan basah sehingga ia hampir tanpa ekspresi.
“Apa Anda mau saya menemani Anda hingga ke lobi?” tanyaku, “Untuk berjaga-jaga seandainya lift macet lagi. Tapi menurut saya, seharusnya lift-nya baik-baik saja sekarang. Anda tak perlu takut.”
Ia menggeleng, “Itu ... sepertinya bukan ide ... yg bagus ...”
“Oke.”
Dan dgn itu, ia berpaling dan keluar dari kantorku dgn langkah lamban dan malas. Bersamanya, tas hitam dgn isinya bergoyang-goyang mengikuti langkahnya, membawa pergi segala aroma busuk, jorok, dan tak mengenakkan dari dalamnya. Aku menghela napas dgn lega ketika ia menutup pintu dan menghilang di baliknya.
Ia tak pernah meneleponku kembali.
Seminggu kemudian, aku sedang minum2 bersama kolegaku di lantai bawah. Kami sedang santai, menikmati beberapa cangkir minuman, dan tiba2 aku teringat padanya.
“Oh, omong2 terima kasih.” kataku.
“Untuk apa?”
“Amelia.”
“Siapa?”
“Amelia. Gangguan pola makan, ingat? Minggu lalu kau mengirimnya kepadaku.”
“Oh ya, aku ingat. Yang terjebak di dlm lift. Bagaimana keadaannya?”
“Ia benar2 seperti kapal menunggu karam. Terisak terus-menerus dan hampir histeris. Aku memintanya menjadwalkan kembali pertemuan kami, tapi ia tak pernah menelepon untk membuat perjanjian.”
“Apa kau sudah berbicara dgn ibunya?”
“Tidak. Aku sama sekali tak mendapatkan informasi sedikitpun darinya. Tapi aku memberikannya kartuku.”
“Bagaimana pendapatmu mengenai dirinya?”
“Ketergantungan pd makanan. Kasus klasik.” jawabku, “Benar2 pemakan lahap. Wajahnya benar2 ...”
“Bukan, bukan ibunya. Maksudku Amelia.”
“Apa?”
“Bagaimana pendapatmu mengenai Amelia?” ulangnya.
“Aku sudah mengatakan padamu apa pendapatku.”
“Amelia, gadis kurus kering berusia 12 tahun itu, kau pikir ia adlh pemakan lahap?”
“Apa, tak ... itu ...”
Dan tiba2 aku tersadar.
“Apa ibunya bersamanya saat itu?”
“Ya, aku mengirim mereka berdua kepadamu.”
“Dan mereka berdua terjebak di dlm lift bersama-sama?”
Ia menatapku dan mimik wajahnya langsung berubah.
Tak perlu kukatakan lagi, aku tak pernah lagi bertemu lagi dengannya. Amelia D-sesuatu. Atau ibunya, wanita penderita obesitas yg tak bernama yg kutemui di luar lift pd hari itu. Wanita yg beraroma seperti kematian, tertutup oleh yg kupikir saus merah, dan membawa tas sampah berisi sisa-sisa makanan.
source : http://dailymotion.com, http://shirunomi.blogspot.com, http://hipwee.com
0 Response to "[Science] CREEPYPASTA - HUNGER"
Post a Comment